JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris
kabinet Dipo Alam menerbitkan surat yang ditujukan kepada seluruh menteri di
kabinet untuk membatasi pengajuan utang luar negeri untuk pembangunan yang
membebani APBN dan APBD.
Dipo mengatakan, surat
edaran itu tidak hanya untuk para menteri tetapi juga kepada seluruh kepala
daerah dan pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.
"Jadi tidak betul
kalau dikatakan pemerintahan SBY ini neolib dan semuanya masih tergantung pada
pinjaman luar negeri," kata Dipo Alam di kantornya, Kamis (1/11/2012).
"Utang sekarang
ini pun terus kami kurangi kalau proporsi utang sekarang sudah pasti berkurang
terus, nominalnya memang masih terlihat besar tapi ini tujuan presiden adalah
mengajak jangan sampai utang luar negeri ini dalam pembiayaan pembangunan kita
berjalan tanpa suatu pengawasan," tambahanya.
Dalam penjelasannya,
Dipo mengatakan, pembatasan utang luar negeri termasuk hibah yang mengikat
dengan commitment fee, serta dana pendampingan rupiah murni yang bisa
membebani APBN/APBD.
Data dari Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, posisi utang pemerintah hingga September 2012
mencapai Rp 1.975,62 triliun. Dari angka itu, posisi utang luar negeri
Indonesia saat ini adalah Rp 638,01 triliun atau sekitar 32,3 persen dari total
utang yang ada saat ini.
Pemerintah mengatakan
dalam beberapa kesempatan bahwa posisi utang luar negeri Indonesia masih aman.
Pada April lalu Lembaga Pemeringkat Internasional Standard and Poor's (S&P)
menahan peringkat utang Indonesia pada level ''BB+'' untuk utang jangka panjang
dan ''B'' untuk jangka pendek dengan outlook positif.
Masih bergantung utang
Namun Lembaga itu
mengatakan, ada sejumlah penghambat dalam perekonomian Indonesia diantaranya
pendapatan per kapita yang rendah, utang luar negeri sektor swasta yang masih
tinggi, dan pasar keuangan domestik yang dangkal.
Pengamat ekonomi dari
Indef, Enny Sri Hartati mengatakan posisi dan kondisi utang Indonesia tidak
bisa dibilang aman jika pemanfaatannya tidak tepat."Kalau kita berbicara
utang indikatornya tidak hanya sekadar apakah kita masih dalam rasio aman atau
tidak, artinya rasio utang bukan satu-satunya indikator apakah utang yang ada
selama ini beresiko apa tidak," kata Enny kepada Wartawan BBC Indonesia,
Andreas Nugroho.
Menurut Enny,
belajar dari krisis yang dialami oleh Amerika Serikat dan Eropa titik
krusialnya adalah bagaimana pemanfaatan utang itu sendiri. Jika utang tidak
dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif sehingga bisa refinancing
kedepannya itulah yang bermasalah."Utang Jepang itu tidak bermasalah
karena utang mereka digunakan untuk kegiatan investasi," ujarnya.
Enny juga meragukan
kesungguhan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono untuk melepas diri
dari ketergantungan terhadap utang."Kalau kita melihat defisit anggarannya
semakin besar maka berarti kita bukan meninggalkan tapi justru kecanduan
utang.Saya tidak melihat adanya langkah nyata untuk melepaskan ketergantungan
dari utang," kata Enny.
Dalam catatan Enny
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menurutnya hanya membatasi utang luar
negeri tetapi tidak membatasi utang dalam negeri. "Utang dalam negeri itu
juga utang dan menjadi beban karena bunganya kan kita bayar menggunakan
APBN," ucapnya.
Sumber :
Editor :
Erlangga Djumena
Diunduh : senin 05
November 2012 20:47 WIB
Analisis :
Menurut saya, sebelum
memutuskan untuk memperbesar hutangnya, pemerintah harus memperhitungkan rasio
utang saat ini. Apabila sudah di fase yang cukup besar, maka sebaiknya
pemerintah tidak usah menambah utang tersebut. Sebenarnya utang akan
menguntungkan apabila utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat
seperti pendapat Pengamat ekonomi dari Indef, Enny Sri Hartati hutang tidak
menjadi masalah apabila digunakan untuk investasi. Dengan begitu, keuntungan
yang didapat dari investasi tersebut dapat digunakan untuk membayar hutang.
digunakan untuk
membayar hutang.