Kamis, 08 November 2012

Pemerintah Batasi Utang Luar Negeri






JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris kabinet Dipo Alam menerbitkan surat yang ditujukan kepada seluruh menteri di kabinet untuk membatasi pengajuan utang luar negeri untuk pembangunan yang membebani APBN dan APBD.
Dipo mengatakan, surat edaran itu tidak hanya untuk para menteri tetapi juga kepada seluruh kepala daerah dan pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.
"Jadi tidak betul kalau dikatakan pemerintahan SBY ini neolib dan semuanya masih tergantung pada pinjaman luar negeri," kata Dipo Alam di kantornya, Kamis (1/11/2012).
"Utang sekarang ini pun terus kami kurangi kalau proporsi utang sekarang sudah pasti berkurang terus, nominalnya memang masih terlihat besar tapi ini tujuan presiden adalah mengajak jangan sampai utang luar negeri ini dalam pembiayaan pembangunan kita berjalan tanpa suatu pengawasan," tambahanya.
Dalam penjelasannya, Dipo mengatakan, pembatasan utang luar negeri termasuk hibah yang mengikat dengan commitment fee, serta dana pendampingan rupiah murni yang bisa membebani APBN/APBD.
Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, posisi utang pemerintah hingga September 2012 mencapai Rp 1.975,62 triliun. Dari angka itu, posisi utang luar negeri Indonesia saat ini adalah Rp 638,01 triliun atau sekitar 32,3 persen dari total utang yang ada saat ini.
Pemerintah mengatakan dalam beberapa kesempatan bahwa posisi utang luar negeri Indonesia masih aman. Pada April lalu Lembaga Pemeringkat Internasional Standard and Poor's (S&P) menahan peringkat utang Indonesia pada level ''BB+'' untuk utang jangka panjang dan ''B'' untuk jangka pendek dengan outlook positif.
Masih bergantung utang
Namun Lembaga itu mengatakan, ada sejumlah penghambat dalam perekonomian Indonesia diantaranya pendapatan per kapita yang rendah, utang luar negeri sektor swasta yang masih tinggi, dan pasar keuangan domestik yang dangkal.
Pengamat ekonomi dari Indef, Enny Sri Hartati mengatakan posisi dan kondisi utang Indonesia tidak bisa dibilang aman jika pemanfaatannya tidak tepat."Kalau kita berbicara utang indikatornya tidak hanya sekadar apakah kita masih dalam rasio aman atau tidak, artinya rasio utang bukan satu-satunya indikator apakah utang yang ada selama ini beresiko apa tidak," kata Enny kepada Wartawan BBC Indonesia, Andreas Nugroho.
Menurut Enny,  belajar dari krisis yang dialami oleh Amerika Serikat dan Eropa titik krusialnya adalah bagaimana pemanfaatan utang itu sendiri. Jika utang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif sehingga bisa refinancing kedepannya itulah yang bermasalah."Utang Jepang itu tidak bermasalah karena utang mereka digunakan untuk kegiatan investasi," ujarnya.
Enny juga meragukan kesungguhan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono untuk melepas diri dari ketergantungan terhadap utang."Kalau kita melihat defisit anggarannya semakin besar maka berarti kita bukan meninggalkan tapi justru kecanduan utang.Saya tidak melihat adanya langkah nyata untuk melepaskan ketergantungan dari utang," kata Enny.
Dalam catatan Enny pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menurutnya hanya membatasi utang luar negeri tetapi tidak membatasi utang dalam negeri. "Utang dalam negeri itu juga utang dan menjadi beban karena bunganya kan kita bayar menggunakan APBN," ucapnya.

Sumber :
Editor :
Erlangga Djumena
Diunduh : senin 05 November 2012  20:47 WIB

Analisis :
Menurut saya, sebelum memutuskan untuk memperbesar hutangnya, pemerintah harus memperhitungkan rasio utang saat ini. Apabila sudah di fase yang cukup besar, maka sebaiknya pemerintah tidak usah menambah utang tersebut. Sebenarnya utang akan menguntungkan apabila utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti pendapat Pengamat ekonomi dari Indef, Enny Sri Hartati hutang tidak menjadi masalah apabila digunakan untuk investasi. Dengan begitu, keuntungan yang didapat dari investasi tersebut dapat digunakan untuk membayar hutang.

digunakan untuk membayar hutang.

0 komentar:

Posting Komentar